PERADIUTAMA.COM – Jakarta, 3 Agustus 2025. Ketua Umum PERADI UTAMA, Prof. Dr. Hardi Fardiansyah, S.H., M.H., menyampaikan apresiasi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 183/PUU-XXII/2024 yang mewajibkan pimpinan organisasi advokat untuk nonaktif apabila diangkat atau ditunjuk sebagai pejabat negara. Menurutnya, putusan tersebut merupakan langkah penting untuk memperkuat profesionalisme, integritas, dan netralitas dalam organisasi advokat.
“Saya menyambut baik dan mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi ini. Putusan ini bukan hanya penting, tapi juga selaras dengan prinsip etika profesi advokat, di mana posisi pimpinan organisasi harus bebas dari potensi konflik kepentingan,” ujar Prof. Hardi.
Ia menjelaskan bahwa larangan rangkap jabatan sebenarnya juga sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 20 disebutkan bahwa advokat yang diangkat sebagai pejabat negara tidak boleh menjalankan tugas profesinya selama memangku jabatan tersebut. “Dengan demikian, secara logika konstitusional, pimpinan organisasi advokat yang juga menjadi pejabat negara sudah seharusnya nonaktif agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan,” tambahnya.
Prof. Hardi menilai bahwa menjaga batas antara peran profesi dan jabatan publik adalah wujud penghormatan terhadap prinsip negara hukum. “Ketika seseorang berada dalam posisi strategis di dua ruang yang berbeda — organisasi profesi dan pemerintahan — maka menjaga obyektivitas akan menjadi tantangan besar. Pilihan untuk fokus menjalankan satu peran adalah langkah yang lebih etis dan bertanggung jawab,” ungkapnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 30 Juli 2025 tersebut mempertegas tafsir Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Advokat, yang sebelumnya hanya melarang rangkap jabatan dengan pimpinan partai politik. Kini, MK menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan organisasi advokat juga harus nonaktif jika menjadi pejabat negara.
MK mempertimbangkan bahwa jabatan sebagai pimpinan organisasi advokat bersifat strategis dan berkaitan erat dengan kepentingan hukum publik. Karena itu, rangkap jabatan dengan posisi pejabat negara berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, serta mengganggu independensi dan profesionalitas organisasi advokat.
Dalam kesimpulannya, Prof. Hardi berharap bahwa putusan MK ini dapat dijadikan momentum untuk memperkuat reformasi internal dalam tubuh organisasi advokat di Indonesia. “Sudah waktunya semua pihak menunjukkan komitmen terhadap etika, keadilan, dan kepatuhan hukum. Profesi advokat harus menjadi teladan dalam menjaga integritas, termasuk dalam urusan jabatan,” pungkasnya.